Ini tentang
jujur pada diri sendiri. Tentang berani mengakui apapun yang mungkin sulit
untuk kita akui. Karena ternyata, memandang cermin yang memantulkan bayangan
diri kita tidak selalu mudah. Ada bagian-bagian yang mengambil peran dalam
menentukan bentuk bayangan. Ada cahaya, bentuk cermin, ukuran cermin, debu dan
kotoran yang menempel dan mendistorsi bayangan yang seharusnya muncul. Semakin
besar distorsinya, akan semakin besar penolakan-penolakan atas bentuk bayangan
yang muncul. Namun selalu saja dalam hati terdalam kita pasti mengakui bahwa
realita dan bayangan tidak akan jauh berbeda. Satu masalah yang mungkin
menyebabkan penolakan-penolakan itu masih ada adalah, sekali lagi, bahwa jujur
melihat diri sendiri itu tidak selalu mudah.
Ini juga
tentang prinsip dan jalan hidup yang telah dipilih. Ini tentang menapaki,
menginjak batu dan tertusuk duri atas konsekuensi kita memilih jalan tersebut.
Jika kita melihat ke samping, kita akan melihat begitu banyak jalan mulus
beraspal yang tidak memiliki duri dan batu sebanyak jalan yang sekarang kita
pilih. Sesekali mungkin komitmen ini terguncang, hati ini teriris dan rasa ragu
menyelimuti. Namun selalu dan selalu, pandangan mata
ini akan kita paksakan melihat lurus dan jauh ke depan. Membayangkan bahwa di
ujung jalan ini, tersimpan telaga jernih dengan buah-buahan lezat yang menjadi
hidangan dan hadiah atas perjuangan melewati batu dan duri. Sementara di
samping, jalan beraspal itu mulus, tetapi berujung jurang dan padang pasir
tandus tanpa air sedikitpun.
Mungkin
alasan yang menyebabkan, menjalani pilihan hidup ini terasa begitu berat.
Karena jauh di lubuk hati kita terdalam, kita masih belum yakin atas cara
pandang kita memahami pilihan hidup. Kita masih belum begitu yakin atas hal-hal
yang kita yakini. Tidak, karena ketika kita yakin, pasti tidak ada keraguan. Bukankah
cerita-cerita manusia sholeh terdahulu menyibakkan sesuatu yang menarik, bahwa
keraguan mereka lenyap justru ketika keteguhan iman mereka diselimuti oleh
‘ketidak-tahuan’ atas ujung pilihan yang mereka buat?
“Nuh belum tahu bahwa banjir
nantinya tumpah
Ketika di gunung ia
menggalang kapal dan ditertawai
Ibrahim belum tau bahwa akan
tercawis domba
Ketika pisau nyaris memapas
buah hatinya
Musa belum tau bahwa lautan
kan terbelah
Saat ia diperintah memukulkan
tongkatnya
Di badar, Muhammad berdoa,
bahunya terguncang isak
“Andai pasukan ini kalah, Kau
takkan lagi disembah”
Dan kita belajar, alangkah
agungnya iman.”[1]
Ketidak-tahuan
tersebut, yang kemudian menuntut kita untuk bersabar menapaki jalan yang kita
pilih. Dan keraguan-keraguan yang muncul di tengah perjalanan sudah seharusnya
disikapi dengan membenahi kejujuran akan seberapa yakinnya kita pada setiap
pemahaman yang kita miliki. Ya, tidak mudah bersabar di tengah ketidak-tahuan
sambil berusaha jujur pada diri sendiri. Tapi itulah. ‘Melakukan’ selalu jauh
lebih sulit dari sekedar ‘mengatakan’. Karena membuat suatu pilihan
menghabiskan sekian menit/jam/hari. Tetapi untuk setia menjalani pilihan, kita
membutuhkan seluruh sisa umur dalam hidup kita.
Karena Allah
akan terus menguji kita pada titik terlemah kita. Semata-mata karena Allah
ingin menjadikan kita manusia-manusia hebat, manusia-manusia kuat yang teruji
dalam setiap titik lemahnya. Ada benarnya jika ujian-ujian yang datang selalu
berasal dari hal yang sama, disebabkan karena kita terus-terusan gagal pada
ujian tersebut. Hingga kita bisa menyelesaikan ujian itu dengan baik dan
akhirnya meningkatkan derajat keimanan kita. Selamat datang ujian hidup.
Selamat memilih pilihan hidup. Dan selamat sabar menapaki jalannya. Setiap
bagian diri ini akan terus berusaha menyelesaikan apa-apa yang sudah dikatakan,
dengan izin Allah. Walaupun sekian kali gagal, sekian kali terantuk jatuh,
sekian kali tersungkur tanah. Semoga tangan dan kaki ini tidak cukup lelah
untuk menyelesaikan dengan jujur dan sabarnya. Insya Allah.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar